Selasa, 11 Januari 2011

Ponselku Bukan Hi-Tech


Hari ini aku kesal sekali. Wajahku  kusut seperti baju yang tidak pernah mencium setrika berminggu-minggu. Bukan karena hasil ulangan yang pas-pasan. Soal itu, aku tidak pernah kecewa, enjoy saja. Bukan juga karena uang saku yang tipis. Kantongku selalu tebal. Sayang, manajemen keuangannya saja yang amburadul.
Ada sesuatu yang membuat aku kelimpungan sampai kering seperti ini, Apalagi kalau bukan masalah ponselku yang jadul alias jaman dulu. Aku malu, ponsel teman-temanku bagus-bagus. Semuanya berlevel high dan Berfitur canggih, kamera, flash, media player, memori besar, wireless connection, pokonya komplit semua ada. Sedangkan ponsel aku fiturnya itu-itu saja. Game-nya ular-ularan, layar monokrom, yang itu saja sudah buram. Apalagi, baterainya suka drop. Tak heran aku sering uring-uringan gara-gara ponsel yang seharusnya masuk museum itu.

Sering kali aku merengek-rengek agar dibelikan handphone baru. Sayang ayah hanya bilang, “Kalau sudah rusak baru beli lagi, itu kan masih layak pakai.” Dan mamah malah menghujam dengan pertanyaan dan sejuta wejangan. “Buat apa kamu ingin ponsel baru? yang penting masih bisa telepon dan SMS. Sebaiknya, sisihkan sedikit uang jajan, rajin nabung, jangan membeli barang yang tidak penting.”
Aku semakin kesal. Kenapa harus aku yang punya ponsel butut ini??? Aku membenamkan diri dalam-dalam di bawah bantal dan selimut yang tebal. Mengunci pintu kamar dan siap melakukan aksi seribu bisu, berharap agar orang tuaku mau membelikan yang baru.
Aku sudah mulai uring-uringan. Aku memutuskan untuk berdiam diri memikirkan cara agar ponsel yang usianya setengah abad ini cepat rusak. Beribu trik dan cara telah aku praktekan. Membantingkanya ke lantai sudah tak terhitung berapa kali. Pernah aku sengaja menyimpan ditempat umum dengan harapan ponsel itu ada yang bawa, sayang orang-orang hanya meliriknya saja tanpa menyentuh bahkan membawanya pergi. Usahaku gagal seratus persen.  Ponselku terlalu kuat dan sepertinya sudah ditakdirkan untuk selalu hidup bersama.

Sepulang sekolah, aku melewati rumah besar dengan pagar menjulang tinggi. Tepat dibelakang pagar itu terdapat seekor anjing menggonggong ria. aku menjulurkan lidah. Menjaili anjing itu. so berani. Namun tiba-tiba pemilik rumah itu membuka pagar, dengan gesit anjing itu keluar dan aku pun lari secepat mungkin. langkahku terlalu kecil untuk bisa berlari secepat kilat. Tak urung jarak anjing itu semakin dekat. Nafasku sudah ngos ngosan, tak kuat untuk berlari lagi. Sudahlah, aku mulai pasrah. Dengan refleks, aku berputar 360 derajat, mengangkat tangan 90 derajat dan plukk… ponselku mendarat tepat dengan sempurna di kepala anjing. Layar kuning membuat anjing mengalihkan pandangan. Anjing itu mendengus-dengus, mendekati, mengamati dengan seksama. Mungkin bertanya-tanya, makanan aneh apa yang ada dihadapnya ini?? Enakah?? Halal tidak??

Disudut jalan aku masih deg deg-an “Ternyata hp bututku berguna juga.” Aku masih menunggu sampai akhirnya anjing itu pergi, setelah berusaha dengan extra menggigit ponsel yang tak kunjung lunak.
Keesokan harinya, sekolah melaksanakan razia. Satu per satu siswa digiring keluar kelas, banyak dari mereka yang sukses mengikuti tahap selanjutnya yaitu digiring keluar BK, karena menyimpan gambar, video, dan file lainnya yang tidak sewajarnya. Namun aku luput dari razia, Sebelum diperiksa aku sudah dinyatakan gugur memasuki tahap selanjutnya, tentu saja karena sang guru tahu ponselku tak cukup muat menyimpan sesuatu yang tak penting. Aku lega sekali, terbebas dari pemeriksaan.

“Heh.. anak ingusan sini kamu”. Langkahku terhenti ketika melewati sebuah jalan sepi sepulang sekolah. Aku melihat 2 orang preman berbaju hitam kusam, celana compang camping, seperti habis terkait paku segede gajah yang hampir merobek seperempat celananya. Mereka menodongkan sebuah pisau kepada anak kecil. Dan memaksa agar anak tersebut melepaskan benda yang tergantung dalam leher yang dipeganya dengan erat. Karena dia adalah seorang anak lelaki, bukan kalung yang dipegangnya. Sebuah ponsel yang cukup hi-tech, touch screen. Ponsel seri terbaru yang sedang merajalela didunia komunikasi. Aku menghela nafas, iri sekali aku melihatnya. Bukan iri karena tidak ditodong, tapi karena anak kecil itu. Bagaimana bisa orang tuanya membelikan ponsel yang begitu canggih kepada anak sekecil itu. ponsel itu belum begitu terasa manfaatnya untuk anak seumur jagung. Anak kecil paling bekiprah didunia games saja. Kenapa aku yang sudah cukup dewasa, yang sangat membutuhkan semua aplikasi dan fitur yang tersedia di ponsel yang canggih belum juga bisa mendapatkanya. Kenapa sih orang tuaku tidak mau merelakan uangnya, sedikit saja?? Aku terus berkeluh kesah, karena menahan rasa kesal yang kian menumpuk.

Aku berjalan mundur, siap berputar dan lari sebelum mereka melihatku dan melakukan hal yang sama seperti terhadap anak kecil itu.

“Heii…” mereka keburu memanggilku, aku deg-degan, gak mau kalau ponsel yang satu-satu nya ini diambil juga. Aku mengambil ancang-ancang dan siap meluncur secepat kilat, sayang preman itu berbadan besar, gampang sekali mereka menerkamku.

“Pulang sekolah yah?” Preman itu berbasa-basi yang gak penting sama sekali. “Iya.” Jawabku singkat. Aku meyelipkan tangan ke saku celana dan mengenggam ponsel. Preman itu memaksaku, mengeluarkan tangan dalam saku celana. Aku tak punya cukup tenaga untuk melawan apalagi membalasnya. Dengan berat hati, aku keluarkan ponsel jadulku.  “Hahahhahha…zaman sekarang masih ada ponsel seperti ini, hahahah.” Mereka tertawa puas sekali. “Sudahlah, pergilah kamu, tak ada gunanya mengambil barang rongsokan ini,yang ada malah rugi bandar kita. hahhah”

Akhirnya mereka melepaskanku dan memberikan ponsel itu kembali. Sungguh hati aku lega sekali, “Terima kasih Tuhan, telah melindungiku. Terima kasih karena tidak memberiku ponsel yang hi-tech. Walauupun ponsel ini masih kalah level dengan yang lainya, tapi sungguh bermanfaat.

Sesampainya di rumah, aku segera meminta maaf kepada orang tua. Menceritakan kembali semua kejadian yang aku alami. Sekarang aku tahu kenapa Tuhan belum memberikan apa yang aku inginkan. Aku tidak akan mengatakan lagi “Kenapa harus aku? Kenapa harus aku yang mendapat kepahitan dan kesengsaran?” Yang akan aku katakan adalah “Terima kasih telah memilih aku., sehingga aku dapat terlindung dari segala bentuk kejahatan.  Terima kasih telah menunda mewujudkan keinginanku karena jika dikabulkan mungkin aku tidak akan seberuntung ini.”



PUTRI NURLESTARI
2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar